Sebenarnya apa yang ngebuat travelling itu seru ya?
Destinasi?
Makin kesini gue baru sadar kalau ternyata:
Bukan!
Tapi, interaksilah yang membuat travelling lebih bernyawa.
Ya, interaksi dengan travelmate dan orang-orang yang kita jumpai selama travelling. Itu sih yang menurut gue ngangenin dan nagih!
Travelling bukan lagi kegiatan pengisi waktu luang, namun perlahan menjadi gaya hidup. Minggu ini nanjak ke Merbabu, 2 minggu lagi eksplor Pulau Papatheo, begitu seterusnya.
Prioritas setiap orang berbeda. Mungkin ini yang sedang kunikmati dan membuat nyaman pada saat ini, maka kujadikan prioritas. Belum ada tanggung jawab lain selain bekerja dan menabung untuk kuliah.
Kereta Tawang Jaya dengan enggannya meninggalkan Stasiun Pasar Senen, lambat laun melaju dengan tergesa seakan ada yang mengejar sambil sesekali meneriakkan klakson. Duduk di seberang gue, seorang gadis berambut hitam legam, kulit sawo matang terbakar matahari, sepasang mata belo berkacamata, dengan kaus dan celana 7/8nya bersandar pada bangku keras bersarung biru. Maya, panggilan gadis asli Ambon ini, orang yang kukenal dari Komunitas Jalan Pendaki. Kali ini Gunung Merbabu-lah destinasi kami. Serta tak lupa menyaksikan upacara Waisak di Borobudur setelahnya.
Masih ada Ka Nia dan Ka Sahdam, teman se-almamater dengan Ka Maya serta kedua temannya. Meeting point kami adalah Stasiun Semarang Poncol. Menjadi yang pertama sampai, kami pergunakan waktu untuk istirahat.
Semarang, kota pesisir itu masih sepi dari hiruk pikuk kesibukan kota besar. Setelah semua berkumpul, kami menuju basecamp Chuntel dengan mobil sewaan. Perjalanan kali ini cukup mewah, biasanya mah paling juga ngeteng.
Perlahan meninggalkan teriknya matahari pesisir, pemandangan berganti dengan bukit-bukit hijau nan asri serta kontur jalan yang naik turun serta berkelok begitu memasuki Salatiga. Jendela mobil kami biarkan terbuka, pendingin sudah lama tak kami hiraukan keberadaannya, yang asli lebih nikmat! Singgah sebentar untuk belanja logistik dan menikmati kuliner khasnya, Tahu Campur.
Basecamp Chuntel sepi saat itu, hanya ada rombongan kami yang akan nanjak. Leyeh-leyeh dan berbenah sebentar, barulah kami berangkat. Matahari hampir di atas kepala.

Ladang kol di kanan kiri menyambut setelah belokan bertuliskan Chuntel. Sapaan ramah ibu bapak yang sedang di ladang menambah semangat kami. Gunung Merbabu yang gagah menanti di depan kami.
Benar-benar sepi saat itu. Pos demi pos kami lalui, senja sudah semakin dekat saat kami tiba di Pos Pemancar.

Rencana awal mau ngecamp di Pos Helipad yang ternyata masih mayan jauh pun gajadi, di pertigaan Jalur Wekas-Chuntel dan Helipad lah kami ngecamp. Dengan tenda double pintu, jadi sunrise dapet, sunset dapet. Mantap! Badai malam itu bikin males ngapa-ngapain. Sing penting wes di dalam tenda. Aman!
“Gengs, besok kita sunrise di tenda aja ya, gausah ngejar summit lah ya.”
“Okeee!” Semua setuju. Gue angkat jempol.
Tenda kapasitas 4 diisi 6 orang dan keril bikin kami lupa dinginnya udara luar yang terjun bebas gasampai sejam.
“Cuy, fotoin gue di sini dong!”
“Ntar dulu gue lagi pake sendal nih.”
“Huaaaaaaa….” Gue sambil menggeliat, nutupin muka pake kupluk. Jam berapa dah nih udah silau banget. Ngelongok jam tangan, jam 10 cuy! Gilak. Ternyata cuma gue yang belom bangun. Mentang-mentang anak bungsu.
Menu makan brunch kali ini adalahhhhhhh..sayur sop! Yang dimakan dengan kertas nasi yang dibikin bentuk kotak sebagai wadahnya 🙂

Siang ini, baru terlihatlah para pendaki lain yang ternyata banyak juga. Bareng kaka Bung yang nunjukin jalan motongin Jembatan Setan, sampailah kami di depan para pendaki yang tadi ada di depan kami. Begitu mereka ngelewatin Jembatan Setan, bingunglah mereka kenapa kami udah duduk leyeh-leyeh di jalur. Hehehe.
Ohya, kaka Bung ini adalah salah satu perantau yang kuliah di Semarang. Kami bertemu waktu di jalur pendakian kemarinnya. Dari ceritanya, dia sering ke Merbabu dadakan, kalau lagi buka jendela kamar dan cuaca lagi bagus ya, berangkat! Dan kali ini dia nanjak Merbabu sebagai latian fisik sebelum lomba basket. Gokil ga tuh, orang mah latian basket sebagai latfis sebelum naik gunung, dia malah kebalikannya. Ngers.

Cuacanya lagi bagus, om!
Sepanjang perjalanan, ka Maya udah siapin bekel yang dia terus kumandangkan sebagai: “Minuman Kemenangan”
Apaan tuh?
Ntar juga tau!

Semakin dekat menuju Puncak Kentheng Songo. Kabutnya kadang ada kadang tipis. Kayak kamu yang datang dan pergi. Tsahhh.
Jalur menuju puncak harus ekstra hati-hati. Saat gue lagi fokus dengan pijakan yang ada, terdengar:
“Weyyy, puncak weyyy!”
Gaspol remblong.
Gue percepat langkah dannn…
tibalah di dataran luas, wah senangnya..tapi..
kok kabut semua?
beda dari waktu 2014 ke Merbabu dan di Puncak Kentheng Songo lagi cerah-cerahnya dan hanya ada rombongan gue aja. Mantap pisan deh pokokna mah.
Sebagai bentuk selebrasi, dibukalah botol pendek berisi cairan pink itu keliling anggota kelompok. Minuman kemenangan yang ditenggak di puncak.

Mog* -mog*
Sengaja disensor biar bingung.
Dari 5 jalur pendakian Gunung Merbabu; Chuntel, Wekas, Kopeng/ Tekelan, Selo dan Suwanting, yang jadi favorit gue adalah Jalur Selo. Gimana engga, pohon Edelweis yang biasanya cuma setinggi pinggang, kalau di Selo bisa lebih tinggi dari orang! Edan. Ditambah kegagahan Gunung Merapi yang deket banget, bikin pemandangan jadi makin breath-taking. Suwanting denger-denger bagus, bisa dapet ketujuh puncak dari Gunung Merbabu. Jalur ini baru beberapa tahun terakhir ini ngehits, dari yang sebelumnya pernah ditutup cukup lama. Wow banget sih katanya. Jadi pengen nyoba. Ada yang mau bareng? 😉
Rehat sejenak di Sabana 1 dan Sabana 2, menikmati keindahan Gunung Merapi, Raja Yogyakarta. Menghindar sampai basecamp lewat malam, kami mempercepat langkah. Indahnya pemandangan sudah saya kantongi dalam memori handphone.
“Huek, huekk!”
Suara itu berulang-ulang, di sebuah belokan di depan kami. Barulah kami tahu berasal dari mana suara tersebut. Sebuah rombongan sedang istirahat di pinggir jalur dan ada seorangwanita yang sedang muntah.
“Piye mbak? Udah enakan?”
Mbaknya menggeleng dengan lemah.
Ternyata mbaknya sudah kehabisan tenaga. Setelah dibujuk-bujuk, mau juga minum teh manis. Ga heran juga sih kenapa lemas, ternyata disuruh makan ga mau terus. Lesson learn, kegiatan mendaki gunung termasuk berat dan butuh asupan kalori yang tinggi, jadi kudu paksain makan ya! Hasil survei yang sangat tidak valid karna gue cuma ke seorang temen gue yang relawan di TNGP, mostly kejadian di TNGP berawal dari penolakan makan. Bermunculanlah kaki terkilir, lemas atau sampai kerasukan. Hih amit-amit ya.
Kami pun membagi tugas ada yang bikin tandu dan makan. Saat bantuan datang, dibungkuslah korban dengan flysheet dan dibopong ke basecamp oleh ranger. Tandu kami menganggur di pinggir jalur. Hehehe.


Sampai jumpa di kemudian hari, Merbabu! Kamu selalu cantik!
