Porter & Ojek Argopuro: Mengenal Mereka Lebih Dekat

Pak Dah, begitu biasa beliau disapa. Setidaknya nama itulah yang familiar bagi kelompok pendakian kami kala itu. Salah satu dari sekian banyak warga Desa Baderan, Ngawi, Jawa Timur. Beliau serta beberapa warga lokal lainnya akan menjadi on point pada artikel ini. Desa Baderan merupakan titik awal jalur pendakian Gunung Argopuro, yang menjadi bagian dari Pegunungan Hyang dimana dinobatkan sebagai gunung dengan jalur pendakian terpanjang di Pulau Jawa. Memang tak dipungkiri, disebut terpanjang karena untuk menggapai Puncak Argopuro, dibutuhkan waktu setidaknya 2-3 hari pendakian dari Desa Baderan.

img_0866

Hal itulah salah satu pertimbangan kami untuk menggunakan jasa Pak Dah sebagai porter demi membantu membawa sebagian (besar) perlengkapan dan peralatan. Memang, kami dididik dan dibiasakan untuk membawa sendiri semua perlengkapan dari awal sampai akhir, namun pada pendakian kali ini ada pengecualian karena kami membawa klien dimana suasana yang nyaman, aman dan praktis menjadi nilai lebih.

Total durasi pendakian kami 5 hari 4 malam, dengan jalur melintas Desa Baderan-Desa Bremi. Pilihan tepat agar dapat menikmati keindahan alam Pegunungan Hyang dengan ciri khasnya: sabana yang tak berujung. Untuk cerita versi lengkap pendakian Gunung Argopuro, kalian bisa baca di sini.

img_0808

Termasuk Pak Dah, kelompok pendakian kami terdiri dari 2 anak umur 6 dan 7 tahun serta 8 orang dewasa; 2 wanita dan 6 pria. Dengan latar belakang klien yang menjadikan gunung sebagai ‘terapi’ dari penatnya mengurus bisnis di Jakarta, mungkin bisa dibayangkan berapa banyak peralatan serta perbekalan yang dibawa kala itu. Di situlah saya dan Chaerul berada, sebagai back-up dari porter. Memang barang yang saya dan Chaerul bawa lebih banyak dari biasa kami bawa, namun tidak bisa disetarakan dengan yang dibawa Pak Dah. 3 tenda, 2 lusin butir telur, panci, sayur-mayur, makanan kaleng, 10 kg beras dan segala macam perbekalan serta perintilan lainnya. Itulah yang dibawa beliau. Berbekal sebatang kayu dan karung, jadilah pikulan untuk membawa barang-barang kami itu.

 

img_0806
Gurat-gurat kerasnya kehidupan, jelas nampak di wajahnya.

Tak usah ditanya berapa berat yang dibawanya, sudah pasti kau tidak akan kuat mengangkatnya dengan satu tangan. Setelah kau angkat pun, mempertahankannya di pundak bisa jadi hal yang sangat sulit dilakukan. Dan ini dilakukannya selama minimal 8 jam berjalan tiap harinya dalam 5 hari. Walau Gunung Argopuro dinobatkan sebagai jalur terpanjang sekaligus terlandai juga tidak bisa dianggap sedatar, semulus dan selebar jalan aspal di depan rumahmu. Masuk hutan, keluar bertemu sabana, masuk hutan lagi, keluar di sabana, begitu seterusnya. Sabana yang luas entah berapa kali lipat lapangan bola itupun, kami hanya mampu melalui jalur yang sudah jelas ada. Tak lebih cepat juga apabila menerobos melalui rumput ilalang, penampakannya saja luas namun, bisa terjerembab dibuatnya. Mau tak mau tetap mengikuti jalur selebar sepasang sepatu, sehingga dibutuhkan kemampuan berjalan layaknya di cat-walk. Seringkali ujung atau bagian tengah sepatu terantuk tanah atau akar di sisi-sisi jalur. Pegel loh, seriusan!

Selama di dalam hutannya pun memang jauh lebih landai, kalau dibandingkan jalur pendakian Ciremai via Linggajati, ataupun Cikuray. Memang tidak ada akar-akar yang menghambat jalur kami. Batang-batang pohon pinus lah yang beberapa kali merintangi jalur. Saya, dengan posisi tak menentu selama pendakian. Kadang di tengah, namun lebih sering di paling belakang. Sering saya beriringan dengan Pak Dah.

Pak Dah, seorang pria paruh baya yang hemat kata. Pembawaannya yang tenang dan cenderung jarang berekspresi pula bercakap, mendorong saya untuk memulai pembicaraan terlebih dahulu. Namun bentuk pertanyaannya tidak bisa yang: “Bapak tinggal di Desa Baderan ya?” ataupun “Lebih ramai pendaki naik dari Desa Baderan ya pak daripada Desa Bremi?” karena bisa dipastikan akan dijawab “ya.” sama beliau. Tanpa tambahan sekalimat pun. Jadi lebih tepat kalau pertanyaannya: “Bapak tinggal dimana?” atau “Lebih ramai mana pak, orang naik dari Baderan atau Bremi?”

img_0864
Masih menggunakan pakaian yang sama dari hari pertama hingga akhir. Paling pas sampai di Bremi ganti kemeja buat pulang.

Perbedaan bahasa yang digunakan juga mempengaruhi kelancaran kami berkomunikasi. Kadang saya kurang paham dengan yang dijawab beliau. Kadang beliau juga kurang paham dengan yang saya ucapkan. Alhasil, kadang kami hanya senyum-senyum saja ataupun menggunakan jawaban klise: “iya.”

img_0798

img_0868

img_0865

Pak Dah pernah berhenti karena kakinya lecet. Begitu saya lihat, ternyata gapakai kaus kaki dong! Ya ga heran sih lecet, setelah ditawari kaus kaki dan beliau pakai, kami lanjut lagi namun entah kenapa di lain kesempatan saya lihat beliau sudah tidak pakai kaus kakinya lagi. Mungkin sudah terbiasa.Terbiasa dengan sepatu plastik putihnya itu. Benar-benar tangguh.

img_0810
Kami bersama para ojek sakti beristirahat di Pos Mata Air 1

Ojek sakti?

Menuju Gunung Argopuro selain bisa dicapai dengan jalan kaki, bisa juga dengan menggunakan jasa ojek yang bisa tembus sampai Pos Cikasur. Namun kami hanya sampai Pos Mata Air 2. Biar ga instan-instan amat lah.

Nah, selain Pak Dah, kami juga punya kesempatan lebih untuk ngobrol dengan warga lokal. Para ojek sakti ini memang sudah sangat ahli di bidangnya, belasan tahun mengantar pendaki, dengan motor yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa dan sudah sangat menyatu dengan alam, in the end, perjalanan kami sampai di Pos Mata Air 2 selamat sentosa. Super lega rasanya setelah melalui jalur makadam dengan kanan-kiri jurang, perkebunan kopi, tanjakan berbatu, jalur tanah sempit nan licin, akar malang melintang. Segala jenis kondisi, mereka terjang tanpa sama sekali rem. Mantap sekali memang! Hingga sebelum sampai di Pos Mata Air 1, kami berhenti dan para ojek sakti tersebut mengeluarkan rantai yang dipasang di ban belakang motor mereka supaya ‘gigit’.

img_0790

img_0789

Para mas ojek sakti ini masih relatif muda, sekitar 25- 35 tahun. Motor mereka semua sudah dimodifikasi, bagian wing motornya sudah dilepas, agar ringan dan ramping. Spion pun tak ada. Minimalis sekali.

img_0317
Saat menembus perkebunan kopi. Kadang saking nanjaknya, harus turun dari motor.

Tadinya saya merasa kurang worth it begitu mendengar tarif ojeknya. Namun setelah tahu bahwa ngojeknya selama 2 jam, perasaan itu berkurang dan semakin berkurang selama perjalanan kami naik ojek itu. Benar-benar..kacau! Dan 200ribu rupiah bukanlah tarif yang setimpal!

“Kami mah kalau ga terpaksa juga gaakan kerja ginian, mbak. Bahaya. Biasa juga ke kebon paling kalau lagi gaada tamu.”

Sederet kalimat yang seketika membuat saya jleb. 

Bagaimana keselamatan mereka dipertaruhkan. Tanpa kecelakaan, bagaimana dengan sendi dan tulang belakang mereka? Ada yang bisa menjamin saat usia senja tidak ada masalah?

Tapi, mau bagaimana lagi? Dibanding dengan menunggu hasil panen yang cukup lama dan kadang tidak menentu, tergantung musim dan cuaca. Sungguh, sungguh miris.

Porter dan tukang ojek. 2 mata pencaharian yang ada dan akan selalu ada selama orang-orang naik gunung dan selama kegiatan naik gunung menjadi sebuah gaya hidup. Kita cukup menghargai mereka dengan tidak menawar tarif dan menyediakan fasilitas primer yang memadai (makan, minum, tenda). Akan lebih baik lagi untuk memberi tip dan membagikan logistik lebih setelah pendakian selesai.

Berat barang yang mereka bawa cukup menggambarkan kerasnya kehidupan.

Tanpa pernah mengeluh, dengan pakaian yang itu-itu saja,

Bagaimana dengan kita yang selalu memperkarakan akan membawa baju dry-fit yang mana, berapa banyak ataupun jaket waterproof yang warna apa yang akan dibawa.

Sibuk mencari sleeping-bag keluaran brand ternama dengan fitur canggih bulu angsa hingga tahan minus sekian derajat.

Atau bangga dengan sepatu high, middle ataupun low-ankle dengan outsole vibram dan lapisan suede atau kulit. Sedang mereka sepatu boots/ sepatu plastik tak pernah jadi masalah dan itulah yang membuat mereka kuat serta terbiasa, perasaan puas dengan apa yang mereka miliki.

Jangan dibayangkan berapa besar upah yang mereka dapatkan. Sudah pasti tidak sebanding dengan besar rupiah yang kamu habiskan dalam sekali makan di Hanamasa, harga skincare ataupun 2-pieces-swimwear milikmu itu.

Mereka pun tidak pernah mempermasalahkan apa yang mereka kenakan.

Lalu, masihkah kita, anak kota ini mengeluh dan mempermasalahkan apa yang kita punya. Tidak pernah puas dengan yang satu, kerja keras mencari uang hingga kadang mengesampingkan sisi kemanusiaan. Berlomba-lomba memiliki gawai canggih dengan fitur terbaru, alat-alat pendakian hits yang kadang kita sendiri kurang paham penggunaannya.

Sing penting merk Bl*ck Di*mond! Ga impor ga kuy.

 

Hey, dude. You don’t eat prestige. 

blessed are those who live in simplicity,

and this is why I hike mountains.

 

All photos credit to: Josephin Richard & Chaerul Abdullah.

Argopuro,

May 27th- 31st, 2018.

 

 

Leave a comment