Turun dari Puncak Gede waktu itu, perbincangan trip selanjutnya mengalir terus di grup-grup Whatsapp. Gawat, racun bermunculan. Saat itu kondisi gue lagi gaboleh banyak jalan karena nabung untuk kuliah. It hards, I know. Kerja untuk nabung kuliah tapi di lain sisi punya hobi yang menghabiskan banyak uang. But, it paid-off.
Sampai akhirnya dari awalnya chat iseng, jadilah rencana jalan-jalan ke Arjuno Welirang di liburan pergantian tahun 2014/2015. Tercetus dari orang paling gabisa ditebak, yaitu abang beda darah yang sekaligus hiking-partner terbaik gue sampai saat ini (sayangnya belom pernah jalan-jalan bareng lagi hiks!), sekaligus pelatih mountaineering gue yang selalu rela ditanyain ini-itu. Orang itu adalah Bang Ahmad Yusuf atau yang biasanya gue panggil Bang Yus.
Karena jarak yang jauh, pemilihan hari yang kebanyakan kena weekdays, jadilah kita pergi berdua aja dari Jakarta. Percayalah, semakin dikit anggota dalam grup, semakin mudah dalam segala hal, termasuk perencanaan perbekalan, akomodasi, segala-galanya deh! Karna menyatukan pendapat banyak kepala adalah tantangan lebih dalam perjalanan.
Ga sedikit pertanyaan berdatangan ke gue: “Serius lu naik gunung berdua aja?” Gue pribadi gaada masalah dengan berdua aja ataupun persoalan gender. Bukannya alam ga membedakan gender? Selain itu, gue percaya penuh dengan partner gue.
Termasuk perjalanan mendadak, lagi peak-season pula. Jadilah kami gadapet kereta ke Malang. Mulailah petualangan mencari calo daripada harus jadi naq bismania. Demi penghasilan, cara calo untuk bekerja pun beraneka ragam. Kami dapet yang unik, dia (sang calo) minta foto kami berdua masing-masing, memasang tarif, dan mengatur waktu temu di hari H keberangkatan.
Jadi gue berangkat dari kantor dengan deg-degan, karena belum megang tiket di tangan, mana belinya dari calo lagi! Ini pengalaman gue yang pertama, dan gaakan gue pake calo lagi kalau ga kepaksa mah. Menit berganti jam, sekitar jam 14.30, datanglah sang calo memberikan 2 lembar tiket yang ternyata Matarmaja (berangkat jam 15.15!) dan 2 buah KTP. Jadi gue punya KTP baru sesuai nama yang tertera di tiket. Dan KTP (semi fiktif) itu adalahhhhhh:

JREEEEENNGGG!! Perkenalkan, 18 jam kedepan nama gue menjadi Tumiyah. Inget ya, T-U-M-I-Y-A-H
BYE.
Kami naik kereta kesayangan, Matarmaja. Di tahun 2014, kereta legendaris ini belum ada AC, alias masih adem-ademnya kalau lagi melaju dan serasa mau ngomelin orang saking gerahnya kalau lagi berhenti di stasiun dan para pedagang masuk gerbong. I always love to go travelling by train. The ambience, it feels different. To enjoy the journey, I always choose an economy-class train. Tentunya untuk menghemat budget juga. Gue suka setiap kereta berhenti sekitar 20 menit di Stasiun Cirebon Prujakan. Menikmati senja di kota pesisir ini, sambil keliling ke peron lainnya dan menyusuri gerbong awal sampai akhir waktu kereta melaju sambil denger “Njess njesss tuttt ” yang gabisa gue dapetin kalau naik bis atau pesawat.
Tahun ini, pergantian tahun berlalu di dalam kereta. Gue lupa waktu itu posisi dimana, yang jelas tanpa ada kembang api, petasan di luar kereta sana. Para penumpang juga biasa aja. Just like the other days.
“Nasi bungkusnya neng!”
“Angkot? Mau kemana dek? Bromo? Semeru?”
sapaan para pedagang dan supir angkot waktu keluar dari Stasiun Malang Kota Lama
Malang menyapa dengan kesejukkannya yang pas.
Pemandangan menuju Basecamp Tretes, amazing! AW membentang dengan lebarnya, memeluk desa- desa di sekitarnya. Punggungan-punggungannya yang kokoh, cantik!
Seperti biasa, gue keluarin kepala dari jendela angkot layaknya anjing golden retriever di film Hollywood kalau lagi naik mobil. Kedua mata sambil kriyep-kriyep menikmati semilir angin. Bedanya gue ga punya lidah panjang kaya mereka.
Basecamp Tretes sudah termasuk tinggi, dengan pemandangan kota Malang dan sekitarnya. Kebayang, ngeliat citylight dari sini pasti bagus banget deh. Simaksi selesai, gali informasi sebentar dan kami dikasih peta AMS berikut jalur pendakian via Tretes . Namun sayang, nampaknya peta ini hasil dari fotokopian yang difotokopi lalu difotokopi lagi. Pudhaaaaarrr.
Trekking pun dimulai, jalur makadam yang langsung menanjak mayan ugha bikin jantung dag-dug. Tapi gajadi cape deh, soalnya di kanan kiri jalur banyak pohon cemara sama ada lapangan rumput yang luaaasss.. Suka banget sama gunung ini!
Lagi berjuang dengan keril yang berat, tetiba ada bocah melaju dan nyalip gue dari kiri. Wah ga bener nih, mau nyalip mah dari kanan, cak..
Ternyata bocah ini lagi sama keluarganya, piknik gitu lah ya. Iya, jadi Gunung Arjuno-Welirang (AW) itu termasuk di kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) R. Soerjo. Jadi ya ga cuma AW aja potensi wisatanya, tapi masih ada:
Gunung Kembar 1, Gunung Kembar 2, Gunung Anjasmoro, Gunung Biru, Gunung Ringgit. Selain itu ada juga Air Terjun Kakek Bodo yang tingginya 40 m. Kalau mau ke air terjun ini, dari jalur pendakian utama bisa belok kanan. Gue gatau jalurnya gimana karena waktu itu gue ga kesana. Ngejar target sebelum maghrib udah sampai di Pos Pondokan.
Sampai di Pos Pet Bocor, vegetasi hutan yang dijumpai adalah Hutan Alam Cemara. Adem!
Hasil perbincangan di sela ngopi, katanya sih karena ada pipa yang bocor jadi namanya begitu. Oke deh!
Perjalanan kali ini amat sangat santai, just like we usually do 🙂
Obrolan ringan di sela kepulan asap tembakau menemani, Pos Kokopan muncul di balik tanjakan terakhir.
Just two of us dan bapak-bapak penjaga warung. Ngopi meneh lah kita…
Dari Pos Kokopan ke Pos Pondokan-lah dimana perlu endurance lebih, karena jalur yang lebih panjang dari sebelumnya, ditambah batu-batunya yang bikin kaki pegel. Mayan ugha, rekk.
Yang tadinya target dapetin sunset di Pos Pondokan, gagal sudah. Nyampenya aja jam 20.30. Boro-boro sunset, burung aja udah lelap semua.
Gelap, cuma keliatan bayang-bayang rumah para penambang belerang. Namun gaada tanda-tanda kehidupan di balik pintu rumah mereka.
Hanya tenda kami dan satu tenda lagi. Siapakah gerangan orang di dalam tenda itu? Ternyata 2 pendaki asal Surabaya. Sibuklah kami dengan kegiatan masing-masing, tak selang berapa lama terlelap dengan gemuruh angin di luar tenda yang tak kami gubris.
Kebangun secara paksa oleh hawa dingin Pos Pondokan, bebereslah kami untuk summit Arjuno. Memang bukan sunrise chaser, karena sejatinya perjalanan itu harus dinikmati 🙂
Bayangan pondok-pondok para penambang sudah jelas terlihat kalau pagi begini. Atapnya yang dilapisi ijuk, daun kering dan terpal, menambah kesan asri. Pondok-pondok itu ternyata memang kosong, para penambangnya turun ke kota untuk quality time sama keluarga.

Berang-berang makan coklat, berangkat!
Naik bukit terus nyusurin jalan setapak, kami pun langsung disuguhin pemandangan numero uno-nya Lembah Kidang. Apik tenan!
Gue, dengan smile ear-to-ear, lari ke tengah lembah sambil loncat-loncat. Bagusnya sih parah!

Akhir Desember yang lembab karena udah masuk ke musim penghujan bikin rumput di seluruh Lembah Kidang ijoooo semua 🙂
Can I have this painting hanging on my wall?
Naik turun bukit, nyebrang sabana- sabana yang semuanya ijo terang nan asri, sampai deh di tanjakan yang mau ke puncak.

Nah, yang di belakang itu, Puncak Arjuno. Masih mayan jauh ya..


Dan di sinilah kami ketemu seorang bapak yang naik Arjuno sambil gendong anakya pakai kain cukin. Bapak ini naik lewat Jalur Tretes dan rencananya mau turun ke Jalur Lawang.
Apalah kami yang orang Jakarta ini, naik turun tangga aja udah engap. 4 jempol buat bapak! Halo dek!

What a breath-taking view..
Cukup 1,5 jam, sampai di Puncak Arjuno, cuaca bersahabat, latar belakang Gunung Semeru di kejauhan dan latar samping Gunung Kembar 1 dan Gunung Kembar 2 yang keliatannya deket..Keliatannya..
Sayangnya, waktu mau mengabadikan momen di puncak, vandalisme di batu-batu di puncak ngeganggu banget. Vandalisme itu ga keren, bro! Jorok dan norak. Plis deh, kalau mau ngasih tau kalian udah pernah kesini, mending bikin tulisan di blog lalu upload aja.
Persis sebelum sampai di puncak, ada beberapa petilasan.
Cerah, rekk!!
Foto dikit, cekrek!
Turun lagi ke Lembah Kidang, dilanjutlah sesi foto-foto yang tadi ketunda.
Semalam lagi di Lembah Kidang. 2 malam, 1 minggupun aku rela.
Lagi asik-asiknya makan malam, datang seorang pendaki ke tenda kami. Numpang dong, bruh..tapi dalam bahasa inggris. Beresin carrier Milletnya, dan ngeluarin jaket Milletnya juga. Tanpa tenda, sleeping bag dan hanya sekantong kecil ikan asin sebagai logistik. All rite then, tenda kapasitas 2 orang ini pun kami sumpal jadi bertiga. Thomas, yang dalam bahasa Perancis terdengar “Tomah”, namanya, seorang backpacker yang baru aja dari Bali dan tendanya jatoh dari ojek waktu keliling Bali. Backpacker nekat sih naik gunung modal ikan asin doang. Cekaceka. Dia ngiranya ntar bisa numpang tidur di rumah penambang belerang. Gue misuh-misuh sepanjang malem sambil menggigil kedinginan. Biarin aja dia tidur di samping pintu sana, ga dingin katanya, wong singletan doang tuh!
Besokannya, ga ngejar sunrise lagi, kami menuju ke Gunung Welirang. Kami berlima hari ini, nambah personil, si Tomah ini. Jalur menuju Puncak Welirang beda banget dari Puncak Arjuno. Tangga berbatu, kemiringan yang bikin nafas Senin-Kamis, belum lagi habis hujan semalemnya jadi batunya licin.
Persis sebelum puncak, ada gua kecil. Kami lanjut ke puncak tapi karena badai makin kencang, visibilitas hanya sekitar 3 meter. Sedang tugu Puncak Welirang masih harus muterin pinggir kawah Welirang. Masih sayang nyawa, kami pun balik dan berteduh di gua yang tadi. Lumayan juga badainya.

Karena Gunung Welirang masih aktif, di sepanjang jalur banyak bongkahan-bongkah batu belerang dari yang seukuran gundu sampai seukuran motor. Itu yang ngebuat pendakian ke gunung ini bikin sesak napas.
Sampai turun di Pos Pondokan pun, masih ga banyak pendaki.
Das dus das dus.. suara kembang api di kota nun jauh di bawah kedengeran jelas. Oh iya ya, ini kan udah tahun 2016. Semoga di tahun ini masih dikasih kesempatan untuk berpetualang lagi 🙂
Gue berdua sama Bang Yus turun duluan ke Tretes karena ngejar waktu masuk kerja lagi.
Di jalur yang udah disemen, karena licin, Bang Yus jatoh dan shoulder hip nya putus. Gue ngakak sejadi-jadinya. Mana di depan ada rombongan pendaki yang mau naik. Dengan gengsinya dia biarinin rombongan itu naik baru bangun terus ngejahit tasnya. HAHAHAHA. Sabar ya bang, beban carrier memang berat, tapi ga seberat beban hidup kok.
Sesampai di Terminal Malang, karena bis yang bagus udah habis masa operasinya, dengan terpaksa harus naik bis ecek-ecek. Hadeuh, kebayang deh belasan jam diombang ambing dalam bis yang bisa seenaknya berenti dimanapun dia mau. Dan benerlah, begitu beli tiket yang katanya VIP, setelah liat bisnya ternyata: “Ini mah ekonomi, nyet!!”
Entah kenapa, naik bis sering banget kena zonknya. Yowes, meh opo meneh. Wes telat. Bis yang kecepatan jalannya menyaingi keong itu pun malah nurunin kami tanpa tanggung jawab di pinggir jalan di Cirebon. No refund money pula. Mantap jiwa. Misuh-misuh sama asap ngebul bis itu, kami duduk dan nyetopin bis selanjutnya dan selanjutnya.
But overall, Trip to Arjuno Welirang totally paid off!! Mau balik lagi euy.
